Kamis, 19 Mei 2011

Jakarta, hidup untuk bekerja atau bekerja untuk hidup

Pada pukul 04:00 di halte Trans Jakarta Terminal Kampung Rambutan sudah berkumpul orang dengan pakaian lengkap. Mereka rapi dan terlihat basah, sepertinya orang-orang itu baru saja mandi. Raut muka mereka kusam dan lemas. Rute bis Trans Jakarta menuju Harmoni dipenuhi orang-orang yang kelihatannya akan berangkat bekerja. Waktu tempuh yang lumayan lama dimanfaatkan mereka untuk tidur. Tak ada sepatah katapun mereka ucapkan. Semuanya saling diam dan tak bertegur sapa. Sewajarnya waktu tersebut digunakan orang untuk beristirahat. Bila mereka sudah ada di halte pada pukul 04:00, berarti minimal satu jam sebelumnya mereka sudah bangun.



Pemandangan tersebut saya rasakan ketika baru masuk Jakarta. Sungguh takjub dan heran melihat etos kerja orang di Jakarta. Ternyata bukan hanya penjual di pasar yang berangkat sepagi itu, para pekerja di Jakarta juga melakukannya. Ubed, teman SMA saya menceritakan dahulu waktu dia sekolah di Jakarta, ia harus berangkat dari rumah sebelum Subuh, sekitar pukul 04:30. Agar terhindar dari macet. Kemacetan paling parah adalah antara pukul 06:00-09:00 dan 16:00-21:00. Jadi agar terhindar macet, hindari jam-jam tersebut. Waktu tersebut merupakan saat orang untuk berangkat bekerja dan pulang bekerja. Kombes Royke Lumowa, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa kemacetan Jakarta sudah mencapai tingkat stagnan Hal tersebut dikarenakan tingginya jumlah kendaraan dan tidak tertibnya pengguna jalan raya.

Di kereta rel listrik (KLR) jurusan Jabodetabek yang terjadi adalah pemaksaan angkutan. Jumlah penumpang yang naik melebihi kapasitas gerbong kereta api. Gerbong yang seharusnya berkapasitas 160 orang (60 orang duduk dan 100 berdiri) dipenuhi lebih dari 300 orang. Keadaan didalam kereta penuh-sesak, tidak dijumpai tempat yang longgar apalagi bangku yang kosong. Saking penuhnya, banyak orang memilih duduk diatas gerbong kereta. Tentu saja resiko tersengat listrik atau jatuh dari gerbong sangat besar. Sudah banyak kecelakaan yang terjadi akibat duduk di atas gerbong.


  • Jumlah penumpang tewas yang naik atap kereta rel listrik (KRL) tahun lalu mencapai 40 orang. Kepala Daerah Operasi (Daops) I Jakarta, Purnomo Radiq Y, menyebut jumlah korban yang jatuh dari atap KRL rata-rata tiga orang per bulan. (Republika, 4/5/2011)

- bersambung - 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar